Jumat, 28 Februari 2014

Perjudian Baru Group Bakrie

Majalah Stabilitas, 28 Pebruari 2014,

Kelompok usaha Bakrie memang tak pernah sepi dari kontroversi. Namun dengan pengaruh pemiliknya di bidang ekonomi dan politik, semuanya selalu bisa dilewati. Kini, konglomerasi itu mulai memperkuat lini bisnis telekomunikasi dan media, lewat sayap globalnya dengan membeli saham path, sebuah media sosial privat yang berjalan di perangkat mobile. Langkah ini mengundang beragam tanggapan terutama karena kerajaan bisnis itu tengah terlilit utang dan sederet masalah yang belum diselesaikan. Tengok saja laporan keuangan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), induk bisnis kelompok tersebut, yang menyatakan utang perseroan kini mencapai Rp 6,44 triliun. Sebuah jumlah yang banyak meski telah menurun dibanding jumlah jumlahnya pada 2011 yang mencapai Rp 10,71 triliun. Namun Bakrie masih tetap bertahan berkat kemampuannya menggunakan strategi gali lubang tutup lubang. Jika ditelisik lebih dalam, banyak dari 10 anak usahanya yang hingga sekarang masih mengidap penyakit tersebut. Bakrie terbiasa membayar utang milik perusahaan, dengan mencari debitor baru. Awal tahun ini, kontroversi itu terbit lagi ketika Bakrie Group mencoba memperluas ekspansi bisnis di sektor teknologi informasi (IT) dengan menjadi satu investor baru perusahaan aplikasi jejaring sosial, Path. Untuk aksi tersebut, Bakrie menggelontorkan dana sebesar 25 juta dollar AS melalui Bakrie Global Grup. Padahal kelompok bisnis itu masih memiliki kewajiban kepada nasabah asuransi PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) yang merasa ditipu oleh perusahaan. Belum lagi korban-korban kasus lumpur Lapindo yang hingga sekarang ganti ruginya belum kunjung selesai. Itu belum termasuk beberapa perusahaannya yang masih berdarah-darah. Bakrie memang bukan pemain baru di sektor IT, karena punya anak usaha PT Bakrie Telecom, Tbk. Namun, pemilik merek dagang esia ini sedari didirikan tidak pernah meraup laba. Per September 2013 saja membukukan kerugian bersih hingga Rp1,52 triliun, naik dibanding periode yang sama tahun 2012 di posisi Rp988,25 miliar. Akan tetapi, alih-alih mengembangkan anak usahanya itu hingga dapat mencicipi laba, Grup Bakrie malah berinvestasi di jejaring sosial Path. Maka dari itu, banyak kalangan terkejut dengan aksi ini mengingat salah satu lini usahanya di bisnis telekomunikasi, Bakrie Telecom tengah kelimpungan dengan utang mencapai Rp9,4 triliun.

Langkah itu, tak pelak membuat nasabah Bakrie Life makin sakit hati. Pasalnya, sejak Oktober 2008, asuransi milik Grup Bakrie ini dinyatakan gagal bayar sehingga dana nasabah senilai Rp360 miliar pun tak jelas penggantiannya. Salah satu perwakilan Nasabah Bakrie Life asal Jakarta menceritakan kisahnya. “Dana kami tak kunjung kembali. Kami sudah dirugikan sejak Oktober 2008. Sabar? Bagaimana bisa bersabar jika melihat aksi Grup Bakrie yang mengejutkan,” kata nasabah tersebut. “Tiba-tiba mereka investasi di Path Rp 300 miliar. Apakah ini tidak membuat kami sakit hati?” imbuh pria yang tak mau disebutkan namanya itu. Bakrie Life mengalami gagal bayar pada tahun 2008 sebesar Rp360 miliar kepada nasabah Diamond Investa. Perkembangan kini, utang Bakrie Life ke nasabah tinggal Rp 270 miliar dan menyusut jadi Rp130 miliar. Namun karena kesulitan likuiditas Bakrie Life belum juga bisa melunasi.

Analis dari Milenium Danatama Sekuritas, Probo Sudjono menilai aksi Bakrie Grup di bisnis aplikasi lumayan berisiko. “Ini kategori bisnis high risk high return, walaupun keuntungannya besar namun sebanding risikonya,” kata dia. Menurutnya, jumlah pengguna Path yang tergolong banyak di Indonesia tak bisa begitu saja dijadikan sebagai pertimbangan dan masih butuh analisis lebih dalam. “Para pengguna Path saat ini menunggu apakah kedatangan Bakrie mampu membawa inovasi,” katanya. Pengamat telekomunikasi Teguh Prasetya mengingatkan bermain di aplikasi tak semudah menggelar jaringan di bisnis telekomunikasi. “Kalau operator itu mudah hitunganya. Satu BTS investasi berapa, terus dihitung trafik yang dihasilkan. Kalau aplikasi, sudah digelontorkan duit besar belum tentu dia mendatangkan keuntungan. Lihat saja Twitter, sampai sekarang rugi terus walau pendapatannya tumbuh terus” kata dia.

Buah Simalaka

Masuknya Bakrie ke Path jelas merupakan perjudian bagi Bakrie tetapi bagi Path yang beberapa bulan lalu baru mem-PHK 20 persen karyawannya masuknya Bakrie tentu merupakan kabar gembira apalagi Bakrie membawa 25 juta dollar AS atau sekitar Rp 304 miliar. Namun demikian, media sosial itupun langsung terpapar risiko ditinggal penggunanya, mengingat berbagai kasus Bakrie, terutama soal lumpur Lapindo, tidak disukai oleh masyarakat Indonesia. Karenanya, bisa jadi, kegembiraan Dave Morin, pendiri Path, tidak berlangsung lama. Indonesia memang dikenal sebagai salah negara yang cukup terdepan dalam menggunakan Path. Dari sekitar 20 juta pengguna aktif harian, Indonesia menyumbang setengah dari jumlah itu. “Jumlah pengguna Path di sini (Indonesia) bahkan lebih besar dari Amerika Serikat. Kurang lebih 4 juta pengguna aktif,” ujar Morin. Media sosial satu ini memang unik, karena menyasar segmen muda agar mereka tetap terhubung dengan keluarga dan teman-teman dekat, karena jumlah teman dalam sebuah akun hanya dibatasi hingga 150 akun saja. Setelah diumumkan bahwa konglomerasi itu membeli Path lewat Bakrie Global Group, para pengguna menanggapi negatif. Beberapa akun bahkan menyuarakan agar para pengguna Path segera meng-uninstall aplikasi itu. Memang, tanggapan negatif itu belum terlihat mempengaruhi profil pengguna Path. Namun kalau berkurang terus-menerus, maka masukknya Bakrie akan menjadi bumerang bagi Path sendiri. Sejauh ini, Path mengaku masih memantau dampak dari masuknya Bakrie Global Group sebagai investor dalam perusahaannya menyusul ramainya gerakan pengguna Path Indonesia untuk meng-uninstall Path. “Kami memonitor sentimen dan mencoba untuk mengerti apa yang menjadi perhatian dan hal positif,” kata CEO Path, Dave Morin, sebagaimana dilansir Recode.net. Di sisi lain, entah ada hubungannya atau tidak dengan reaksi buruk pengguna Path setelah bergabungnya Bakrie, kini jejaring sosial yang tengah naikk daun itu diserang pesan spam. Akun Twitter Path memberikan peringatan kepada pengguna terkait ‘jumlah kecil’ dari pengguna yang diserang pesan spam. Pesan spam ini diyakini berupa pesan pribadi, yang dikirim ke pengguna Path dari pihak yang tidak diketahui atau pengguna palsu. Ini adalah pertama kalinya Path mengalami gangguan pesan spam seperti ini, atau hanya berjarak hitungan hari sejak Bakrie Global Group menanamkan investasinya di Path. The Next Web melansir, ini mungkin terjadi karena investasinya terkesan sebagai permainan politik belaka jelang Pemilihan Umum 2014. Dalam Pemilu 2014 ini Aburizal Bakrie menjadi kandidat presiden Indonesia berikutnya. Ekosistem Bisnis Digital Seolah tidak menghiraukan cibiran masyarakat dan juga sebagian pengguna Path di Indonesia, manajemen Bakrie Global Grup tetap bersikukuh di lini bisnis baru yang dijajalnya itu. Chief Executive Officer (CEO) Bakrie Global Group, Anindya N. Bakrie, mengungkapkan, investasi di bisnis jejaring sosial ini merupakan komitmen Bakrie Group membangun ekosistem bisnis digital. Dia menjelaskan, saat ini, Bakrie Group telah memiliki dua stasiun televisi dengan segmen yang berbeda dan media online viva.co.id dengan 25 juta pengguna. “Kami memang senang bermain di bisnis TMT (technology, media, and telecommunications), karena memungkinkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik,” kata Anindya. Menurut dia, platform yang dimiliki Bakrie Group saat ini di bisnis media sudah ada di mobile dan online, tetapi belum ada di media sosial. “Nah, investasi di Path ini untuk menembus building block bisnis media yang kami punya selama ini.”. Dia menambahkan, bisnis media digital dinilai memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang. Setelah sebelumnya, bisnis cenderung berbasis pada perdagangan komoditas. Lalu, mengapa Path? Anindya menuturkan, Path sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia, yang di antaranya menghargai nilai-nilai budaya. Namun bukan kebetulan, yang menjalankan Path adalah teman-temannya saat kuliah di Stanford University. Selain Bakrie Global Group, investor yang sudah ada dan juga kembali ikut dalam pendanaan di Path adalah Greylock Partners, Kleiner Perkins, Index Ventures, Insight Venture Partners, Redpoint Venture Partners, dan First Round Capital. Pendanaan baru ini menambah total investasi di Path sebesar 65 juta dollar AS atau setara dengan Rp790,4 miliar. Sementara Presiden Direktur Bakrie Telecom Jastiro Abi membuka sedikit strategi perseroan pasca grup usahanya ikut berinvestasi di Path. “Ini bagian dari strategi grup di bidang telekomunikasi, media, dan teknologi (TMT) yang sudah diumumkan pada awal 2011 lalu,” ungkap dia. Berdasarkan catatan, TMT diusung dengan mengkonvergensikan tiga lini usaha yakni bisnis Telekomunikasi yang diwakili oleh BTEL, Media (Viva Group), serta Teknologi melalui Bakrie Connectivity (BConn) dan Bakrie Network (BNET). Dua perusahaan terakhir ini adalah anak usaha dari BTEL.
Ketika mengenalkan transformasi ini, Bakrie menjelaskan bahwa hal itu sudah diaplikasikan dalam strategi layanan BTEL 2.0: More Than Just Talk. Layanan itu tidak hanya layanan suara, tapi juga akses data di mana pelanggan bisa menikmati solusi mobilitas secara keseluruhan dengan harga yang paling terjangkau. Dalam salah satu taktik TMT memang disebutkan kala itu adanya keinginan memperkaya konten dengan menggandeng pengembang aplikasi global dan mendorong pemain lokal melalui inkubasi. “Kita tetap konsisten dengan strategi TMT. Saya kan sudah kasih sinyal kita akan bekerjasama dengan pemain aplikasi untuk membesarkan esia. Kami juga akan memiliki produk Over The Top (OTT) sendiri atau bekerjasama dengan eksisting OTT. Jika bekerjasama dengan OTT, menggunakan skema revenue sharing,” tambah Abi. Terkait kerugian yang diderita Esia, Abi menjelaskan, hal itu lebih banyak terjadi karena rugi kurs dan di atas buku. “Ini kan karena ada depresiasi rupiah, kita tak bisa prediksi. Kita kan ambil utang kala dollar AS di Rp 9 ribuan. Tetapi kami optimistis pada tahun ini kerugian akan lebih rendah ketimbang tahun lalu,” tegasnya. Diungkapkannya, perseroan tengah mengaji sejumlah strategi terkait utang senilai total Rp9,4 triliun. Opsi yang tengah dikaji adalah share swap, rights issue, extend maturity atau refinancing. “Kami sudah tunjuk FTI Consulting untuk melihat semuanya soal utang ini. Semua pihak yang terlibat soal utang ini menunjukkan optimisme dengan masa depan perseroan,” jelas Abi. Bakrie Telekom hingga akhir tahun lalu masih membukukan kerugian bersih lebih dari Rp1 triliun. Meski begitu, manajemen masih optimistis secara operasional membaik karena laba usaha positif ke Rp101 miliar dan memiliki pendapatan sebelum pajak dan penyusutan (EBITDA) Rp770 miliar. Esia adalah operator telekomunikasi yang hanya memiliki 11,4 juta pelanggan yang terdiri atas 700 ribu pelanggan data dan 10,7 juta pelanggan layanan suara dan SMS. Sedangkan pendapatan rata-rata per pengguna Rp 19 ribu per pengguna di kuartal III 2013. Saat ini perseroan memiliki 3.008 BTS, terdiri atas 2.066 BTS di wilayah Jawa Barat, Jabodetabek dan Banten, sedangkan 942 lain di luar daerah tersebut. Abi juga mengungkapkan, perseroan menyiapkan belanja modal sekitar 25 juta dolar AS hingga 30 juta dolar AS untuk menopang operasionalnya pada tahun 2014. “Kami berjanji mulai aktif lagi di pasar untuk memperkuat kinerja operasional agar bisa bertahan di pasar seluler nasional,” ungkap dia. Dipaparkannya, perseroan akan fokus di pasar menggenjot jasa data karena kontribusi layanan ini tak mencapai target di 2013. “Kontribusi jasa data tidak seperti ditargetkan di awal tahun yakni sebesar 8 persen – 10 persen bagi total omzet. Kami ingin aktif lagi di pasar agar pada 2015 kontribusi layanan ini bisa mencapai 50 persen bagi omzet,” jelasnya.

Oleh: Marwan

Minggu, 16 Februari 2014

Bakrie Life Tak Punya Aset

JPNN.COM 16 - 02 - 2014, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya membuka tabir alasan belum ditutupnya asuransi PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life). Pengawas industri keuangan di tanah air itu menyatakan bahwa Bakrie Life masih mempunyai janji untuk menyelesaikan kewajibannya kepada nasabah.
Namun, di sisi lain, asuransi yang bangkrut bersamaan dengan krisis keuangan global tersebut sebetulnya sudah tidak memiliki aset untuk dilikuidasi. "Kenapa tidak dicabut (izinnya) karena kami berupaya menjembatani kontrak perusahaan dan nasabah untuk pelunasan pembayaran," terang Kepala Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani seperti dikutp dari Jawa Pos, Sabtu (15/2).
Menurut dia, upaya untuk menyelamatkan kewajiban perseroan kepada nasabah itu justru bakal gagal jika Otoritas mencabut izin Bakrie Life. Sebab, lanjut dia, dengan tidak adanya aset yang dapat dilikuidasi, proses pembayaran ke­wajiban kepada nasabah akan sulit dilakukan. Penutupan yang dilakukan terpaksa itu justru memudahkan salah satu gurita bisnis keluarga Bakrie tersebut untuk angkat tangan.
Padahal, saat ini dari total kewajiban sekitar Rp 400 miliar. Diperkirakan, utang Bakrie Life masih mencapai Rp 182 miliar. Deposito wajib Bakrie Life kepada OJK hanya mencapai Rp 10 miliar.
"Dengan begini, Bakrie Life tinggal menyelesaikan komitmennya. Jika ada uang, bayar lagi (ke nasabah). Tapi, tetap ada upaya likuidasi dan terus berjalan," terangnya.
Umumnya, izin perusahaan asuransi dicabut karena dinilai gagal dalam usaha penyehatan. Misalnya, tidak mampu lagi memenuhi kesempatan untuk mencari investor baru. Dengan demikian, jika terjadi upaya likuidasi, akan ada pembagian aset perusahaan untuk memenuhi kewajiban. Namun, kasus Bakrie Life tersebut cukup spesifik. Sebab, selain dinilai tidak mempunyai aset, di satu sisi, ada kontrak perdata antara perusahaan dan nasabahnya.
Meski demikian, Bakrie Life tidak bisa serta merta mengartikan kontrak itu sebagai "nyawa kedua" bagi perusahaan. Sebab, Firdaus berjanji tidak akan ada lagi kesempatan bagi perusahaan yang sakit.
"Perusahaan kelihatan sakit saja su­dah akan kami paksa merger. Kami tidak akan menunggu aset mendekati kewajiban. Solvabilitas tinggal 60 persen langsung akan kami pindahkan. Kami punya wewenang itu," tegasnya.
Saat ini tingkat solvabilitas atau rasio yang menggambarkan kemampuan melunasi kewajiban jangka panjang perusahaan asuransi minimal adalah 120 persen. Bakrie Life terpukul oleh krisis keuangan pada 2008 karena sebagian besar portofolio perseroan diinvestasikan pada saham di pasar modal yang ambruk. Akibatnya, Bakrie Life mengalami gagal bayar kepada nasabah produk Diamond Investa.(gal/c18/sof)

Senin, 10 Februari 2014

OJK Panggil Bakrie Life soal Klaim Nasabah

JAKARTA, 10 - 02 - 2014, KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan pihaknya telah memanggil manajemen Bakrie Life untuk diminta menyelesaikan kewajiban klaimnya kepada nasabah. Pasalnya hingga Januari, anak usaha Bakrie Group tersebut masih memiliki utang sebesar Rp 260 miliar. Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan Dumoly Pardede mengatakan pihaknya telah memanggil manajemen Bakrie Life dalam satu dua minggu kemarin. "Kami panggil manajemen, kami imbau untuk membayar kewajiban mereka," ujar Dumoly pada Rabu (5/2/2014).
Ia mengatakan bahwa persoalan Bakrie Life adalah janji pemegang saham untuk membayar kewajiban kepada nasabah. Namun janji tidak tersebut tidak kunjung ditepati. Kemudian OJK memanggil pemegang saham dana manajemen.
Dumoly mengatakan, jawaban manajemen Bakrie Life adalah akan berkonsultasi dengan pemegang saham terkait penyelesaian kewajiban mereka tersebut. Namun sayangnya, Dumoly mengaku tidak mengetahui pasti rencana pembayaran tersebut.
Seperti yang diberitakan KONTAN pada 27 Januari lalu, Bakrie Life masih memiliki tunggakkan sebesar Rp 260 miliar. Tunggakan itu terdiri dari Rp 110 miliar dari produk diamond investa dan Rp 150 miliar sisanya dari produk lain.
Catatan saja, sejak dinilai gagal bayar pada 2009, Bakrie Life memiliki total kewajiban kepada nasabah sebesar Rp 400 miliar.
Adapun untuk bisa melunasi kewajiban tersebut, pihak Bakrie Life mengaku memiliki aset berupa tanah seluas 87 hektar di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, Direktur Utama Bakrie Life Timoer Soetanto, mengaku kesulitan untuk menjual tanah itu. Selain itu pihaknya mengaku masih memiliki deposito sebesar Rp 35 miliar. (Benediktus Krisna Yogatama)